Beranda | Artikel
Mengenal Ulama Lebih Dekat (5)
Jumat, 8 Mei 2015

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam; Tiada ilah yang berhak disembah melainkan Dia. Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan atas Nabi Muhammad Shallallâhu ’alayhi wa Sallam, juga keluarga, para shahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

“Sepedih-pedihnya azab pada hari kiamat kelak,” begitu Rasulullah menegaskan dalam sebuah hadisnya yang dikutip oleh Thabrani dan Baihaqi, “adalah seorang ulama yang ilmunya tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri,” Lalu, mungkinkah seorang ulama itu tidak bisa mengambil manfaat dari ilmunya sendiri? Bukankah ini aneh? Ya, aneh memang. Tapi, tidak mustahil terjadi. Sebab, berita itu datang langsung dari wahyu yang diturunkan kepada nabi kita tercinta, Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Jika memang demikian, seperti apakah gerangan seorang ulama yang tidak bisa mengambil manfaat dari ilmunya itu?

Berikut Muhammad bin Husein menjawabnya, seperti yang dikutip al-Ajurri dalam kitab Akhlaqul ‘Ulama.

“Ia adalah orang yang tujuan dari menuntut ilmunya demi kebanggaan dan pamer belaka. Juga demi debat dan adu argumentasi saja. Dengan ilmu yang dimilikinya, ia makan harta orang-orang kaya. Dengannya pula, ia dekati para penguasa demi mendapatkan dunia. Secara lahir, ia tampak sebagai seorang ulama, namun budi pekertinya tak jauh beda dengan para berandal yang dungu dan tak berakal. Sungguh, ia adalah musibah bagi orang yang tak mengenalinya. Lisannya lisan ulama, tapi perbuatannya tak jauh beda dengan para begundal yang bebal.”

Bahkan secara lebih eksplisit, Wahb bin Munabbih menjelaskan, sebagaimana diungkap al-Ajurri, “Ia mendalami ilmu bukan karena ingin mendakwahkan agama, dan mempelajari ilmu bukan karena ingin mengamalkannya. Ia orang yang gemar menjual akhirat demi dunianya. Ia adalah serigala berbulu domba yang kerjaannya hanyalah meminum dan memakan yang haram. Jika berurusan dengan utang, ia adalah lintah darat terkejam yang pernah ada. Salatnya panjang dan bajunya putih, tapi ia tak malu untuk mengeruk harta anak yatim dan janda.”

Sungguh, benarlah apa yang disabdakan baginda nabi berikut ini,

يَكُوْنُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ عُبَّادٌ جُهَّالٌ ، وَعُلَمَاءُ فُسَّاقٌ

Pada akhir zaman nanti akan bermunculan ahli-ahli ibadah yang tidak berilmu dan ulama-ulama yang fasik” (HR. al-Ajurri. Syaikh al-Albani mendaifkan hadis ini).

Untuk itu, di bawah ini disebutkan kriteria seorang ulama jahat, seperti yang dinukilkan dari kitab Akhlaqul ‘Ulama karya Abu Bakar al-Ajurri, pada halaman 89 sampai 92 dengan sedikit perubahan.

“Pengekor hawa nafsu, angkuh dan sombong, ilmunya tak membekas sedikit pun di hatinya. Perilakunya layaknya berandal yang tak berotak. Jika ia mau jujur terhadap dirinya sendiri, ia akan menjumpai pada dirinya budi pekerti yang tak layak bagi seorang ulama. Ia tak mungkin memungkiri hal itu. Sebab Allah yang menjadi saksinya.

Keinginannya yang tertinggi adalah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Sebab ia sangat takut miskin. Ia tak pernah qanaah dengan rezeki yang diberi. Bayang-bayang takdir selalu berkelabat di benaknya. Kesibukan dunia selalu mengunjungi hatinya. Jika teringat akhirat hanya sekejap saja. Ia kejar dunia dengan sepenuh daya upaya, kesungguhan, dan kekuatan. Namun, sebaliknya, ia kejar akhirat dengan menunda-nunda amal dan panjang angan-angan.

Jika berbuat dosa, yang ia ingat hanyalah berharap ampunan dari Allah. Jika ingin berbuat taat, yang ia ingat hanyalah bahwa Allah itu Maha Pengasih, lalu ia pun mengurungkan niatnya. Ia menyangka dengan berbuat seperti itu ia tengah berbaik sangka kepada Allah. Ia sangat yakin akan ampunan Allah itu, namun ia tak pernah mewujudkan keyakinannya itu dalam bentuk amalan nyata. Hatinya tetap saja bergoncang karena dunia selalu tampak indah di pelupuk matanya.

Padahal, ia sudah diperintahkan untuk bersikap tenang, terlebih-lebih ketika mengingat mati. Ia sudah diseru agar senantiasa memiliki rasa takut kepada-Nya. Namun, tetap saja ia tidak bisa tenang karena bayang-bayang dunia yang menyilaukan matanya itu. Padahal, bagiannya sudah ditentukan, dan ketentuannya juga sudah dijaminkan. Bahkan Allah pun sudah berjanji akan menepati rezekinya dan tak akan luput pun barang secuil pun. Namun, tetap saja ia belum merasa aman sampai benar-benar dunia telah berada di genggamannya.

Di saat itulah ia baru merasa bahagia, sampai-sampai sekadar untuk bersyukur kepada Tuhannya pun ia lupa. Pun ketika tertimpa musibah, kesedihannya membuatnya gelap mata dari sikap rela terhadap takdir Rabbnya. Juga ketika tertimpa kesusahan, rasa cemas secepat kilat merasuk ke dadanya hingga membuatnya langsung menggantungkan hidup kepada makhluk dan melupakan Sang Pencipta.

Jika ia tak menemui jalan keluar dari makhluk itu, baru ia menengadahkan tangan memohon kepada Tuhannya agar diberi jalan keluarnya. Namun, begitu ia berkepentingan dengan makhluk itu lagi, serta merta Tuhannya pun dilupakannya kembali. Jika ada yang berbuat baik padanya, maka hatinya dipenuhi rasa cinta terhadap yang mengasihinya itu. Bahkan ia bertekad untuk tidak melupakan jasa orang itu seraya mengucapkan beribu-ribu terima kasih. Namun, hal itu tak pernah dilakukannya jika ia menghadap kepada Tuhannya Dzat yang Maha Pengasih. Ia meresa berat jika harus mensedekahkan sedikit dari hartanya kepada orang yang tidak pernah memberinya. Namun, ia akan dengan suka rela mengorbankan banyak hartanya demi orang yang pernah memberinya. Hanya saja, hal itu ia lakukan bukan dengan cuma-cuma; sebab ia menginginkan sesuatu yang lebih berharga dari itu. Jika ia bertemu dengan orang yang disenanginya, ia puji secara berlebih-lebihan dan melampaui batas. Pun ketika berjumpa dengan yang dibencinya, ia cerca habis-habisan tanpa kenal batas.

Purba sangka ia anggap sebuah kepastian. Pun begitu dengan tuduhan ia berlakukan seolah-olah sebuah kebenaran. Ia sangat membenci orang yang berbuat zalim terhadap dirinya. Namun, ia tak pernah membenci dirinya yang menzalimi Tuhannya. Berat rasanya lidahnya mengucapkan kalimat zikir. Namun, begitu ringannya jika mengucapkan kata yang tak perlu berfikir.

Jika ia tertimpa kesenangan, girangnya bukan kepalang, sampai-sampai ia melewati batas. Namun, jika lenyap sudah kesenangannya itu, ia mengundurkan diri dari berbuat ketaatan. Ia menyangka bahwa ia tak akan pernah senang dan bahagia lagi untuk selama-lamanya. Jika ia tertimpa rasa sakit, ia undur-undur waktu bertobat seraya menampakkan rasa penyesalan dan berjanji tak akan mengulangi kesalahannya lagi. Namun, begitu sembuh, sekejap saja ia telah mengingkari janjinya sendiri dan mengulangi kesalahannya itu tanpa rasa malu lagi.

Jika ia mengerjakan salat, ia kerjakan dengan penuh kelalaian tanpa rasa pengagungan terhadap Rabbnya. Pun begitu ketika ia kerjakan salat berjamaah, ia merasa jemu dan mencela imamnya jika bacaannya panjang-panjang. Sebaliknya, ia akan senang dan memuji imamnya jika bacaannya pendek-pendek. Ia sedikit berdoa jika tidak ada kesusahan yang menimpanya. Namun jika sudah berdoa, ia panjatkan dengan hati yang dipenuhi kesibukan dunia”.

***

Penulis: Ridho Abdillah, BA., MA.

Artikel Muslim.Or.Id

🔍 Arti Dauroh, Seimbang Dunia Akhirat, Ceramah Islam Mp3, Cara Menjaga Hawa Nafsu, Fadillah Ayat Kursi


Artikel asli: https://muslim.or.id/25469-mengenal-ulama-lebih-dekat-5.html